Saat semua petugas pelayanan pelanggan (customer service) dilatih untuk selalu mendahulukan kata “maaf” ketika dikomplain pelanggan, tulisan ini menganjurkan Anda untuk berhenti melakukannya.
Sebelum merasa tulisan ini membingungkan, ada baiknya kita sama-sama memahami konteks “maaf” secara lebih dalam. Permohonan maaf adalah sebuah pernyataan penyesalan atas sebuah kesalahan dan pernyataan ini sebaiknya disampaikan apabila Anda tahu betul di mana letak kesalahannya.
Dalam praktiknya, apa pun masalahnya dan siapa pun yang salah, kalimat pertama yang selalu customer service ucapkan ketika pelanggan mengeluh adalah “mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda”. Kebiasaan ini timbul dari teori umum yang meyakini bahwa permohonan maaf membuat konsumen merasa lebih dihargai.
Padahal, apa yang dikeluhkan konsumen mungkin saja bukan sepenuhnya kesalahan customer service. Lagi pula, semakin permohonan maaf diucapkan, konsumen biasanya semakin menjadi-jadi. Mungkin Anda sendiri pernah merasakannya. Sudah kesal karena tertimpa masalah, Anda hanya dihibur dengan kata “maaf” yang prosedural. Solusi belum ketemu, Anda sudah kekenyangan kata “maaf” dari customer service.
Kekesalan konsumen ini wajar, sebab pada dasarnya mereka menghubungi CS karena menghadapi masalah dan membutuhkan solusi, bukan sekadar permohonan maaf. Berbicara soal fakta, studi terbaru juga sudah banyak yang menyimpulkan bahwa “permohonan maaf” sebenarnya dapat merusak kepuasan konsumen.
Sebuah studi dari Case Western Reserve University yang menganalisis 111 video rekaman dari meja CS bandara di Amerika dan Inggris, mendapatkan bahwa semakin customer service mengulang kata “maaf”, konsumen jadi semakin meragukan kompetensi petugas tersebut. Alhasil, kepuasan konsumen semakin menurun.
Lebih jauh, Emilie Johnston dari CloupApp mengatakan bahwa mengandalkan kata “maaf” dalam menghadapi pelanggan bisa memperparah masalah. Permohonan maaf yang berlebihan membuat konsumen menjadi: (1) semakin kesal dan ingin membalas, (2) merasa masalah utamanya diabaikan, dan (3) menganggap perusahaan benar-benar melakukan kesalahan. Dalam hal ini, kedudukan konsumen dengan perusahaan menjadi tidak setara karena konsumen memandang rendah pihak yang seharusnya menjadi penyedia solusi.
Tentunya, Anda tidak ingin hal ini terjadi pada perusahaan Anda. Untuk itu, perusahaan hendaknya menyempurnakan kebiasaan “permohonan maaf” ini dengan strategi lain. Dengan kata lain, perusahaan memikirkan cara bagaimana memiliki sebuah standardisasi kerja yang baik dan tentunya, melakukan pengecekan secara berkala apakah standardisasi tersebut dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada atau tidak. Lebih jauh, seluruh tim juga harus benar-benar dibina agar dapat mengimplementasikan sistem dan SOP tersebut dengan baik.
Tak hanya itu, evaluasi dan perbaikan kesalahan juga turut mengambil bagian dalam memuaskan konsumen. Jika pun harus meminta maaf, lakukan seperlunya dan gunakan teknik yang efektif, alih-alih sekadar mengulang dan merendah di hadapan pelanggan yang mengamuk.
Pandangan Bob Easton dari Accenture Australia dan New Zealand bisa menjadi masukan yang bagus. Bob mengatakan bahwa usaha dan kreativitas seseorang dalam menyelesaikan masalah akan lebih memuaskan pelanggan dibanding sekadar meminta maaf dan empati. Artinya, perusahaan perlu membangun tim pelayanan pelanggan yang mampu dan terbiasa untuk memberikan solusi kreatif.